Minggu, 13 November 2011

Presiden Pilihan Sejarah?

Majalah Time dalam edisi The Most Important People in the Century tahun 1998 menulis bahwa ”sejarah politik abad ke-20 dapat ditulis sebagai otobiografi enam orang: Lenin, Stalin, Hitler, Mao Zedong, Franklin Roosevelt, dan Winston Churchill”.

Di persimpangan jalan sejarah yang krusial, nasib bangsa-bangsa sering terkait sangat erat dengan orang-orang tertentu. Individu-individu ini seolah dipilih oleh sejarah untuk mengemban suatu misi besar. Keputusan moral dan pilihan politik mereka untuk menjawab tantangan sejarah ini menentukan dan mengubah nasib bangsanya untuk selama-lamanya.



Afrika Selatan dan Mandela adalah contoh yang baik untuk era akhir abad ke-20. Runtuhnya rezim apartheid melontarkan Mandela ke tampuk pimpinan Afrika Selatan dan langsung menghadapkannya pada pilihan pelik, yakni mengikuti semangat membalas dendam atas ketidakmanusiawian rezim masa lalu terhadap warga kulit hitam atau rekonsiliasi yang sangat tidak populer. Mandela memilih rekonsiliasi.

Afrika Selatan yang dikhawatirkan akan banjir darah menyusul runtuhnya rezim kulit putih justru langsung masuk jalur cepat demokrasi dan martabatnya melambung dalam pergaulan antarbangsa sebagai negara beradab. Bahkan, tahun depan Afrika Selatan sudah mampu menjadi tuan rumah Piala Dunia. Contoh lain dengan skala dan kerumitan pilihan moral dan keputusan politik yang berbeda kita temukan sepanjang sejarah. Para pemimpin besar seperti Mandela sepenuhnya sadar bahwa, meminjam kalimat mantan Presiden Perancis Charles de Gaulle: to govern is to choose among disadvantages; minus malum; memilih di antara pilihan-pilihan yang sulit; memilih yang paling kurang buruk.

Sejarah memilih mereka untuk mengemban misi besar dan mereka menjawabnya dengan keputusan moral yang benar dan pilihan politik yang tepat dan, kadang, berani. Keberhasilan mereka membuat nama mereka selalu dikenang oleh bangsanya dan terukir dalam sejarah dunia. Mereka bukan lagi sekadar presiden, tetapi juga pemimpin besar.

Indonesia hari ini berada di persimpangan jalan sejarah yang sangat penting. Arah pertama akan membawa kita kembali ke republik masa lalu, sementara arah kedua mengantar kita kepada Indonesia masa depan; yang pertama jalan memutar kembali ke praktik sosial-politik yang korup dan yang kedua adalah jalan lurus menuju politik yang bersih serta tata kelola pemerintahan yang efisien dan akuntabel; jalan pertama menuju stagnasi sosial-politik dan keterpurukan, jalan kedua menuju Indonesia yang adil dan sejahtera serta bermartabat dalam pergaulan bangsa-bangsa.

Walaupun jalan mana yang seharusnya ditempuh tampak jelas, sama sekali tidak berarti mudah untuk menempuhnya. Realitas sosial-politik Indonesia hari ini berada di antara tarik-menarik antara kekuatan reformasi dan kekuatan reformasi tandingan. Adam Michnik, tokoh intelektual gerakan Solidarnosc (Solidarity) Polandia, membedakan antara kontrareformasi dan reformasi tandingan. Mereka yang kontrareformasi jelas-jelas anti atau menentang reformasi.

Tak banyak di Indonesia hari ini yang mendeklarasikan diri antireformasi. Mereka telah melakukan metamorfosis menjadi reformis, atau persisnya reformis tandingan. Reformis tandingan berkepentingan terhadap berlakunya business as usual. Mereka menggunakan bahasa reformasi, prosedur hukum, dan legislasi yang ada untuk memastikan bahwa kepentingan ekonomi, sosial, dan politik mereka tetap terjamin. Mereka ada di mana-mana dan dengan sangat aktif memengaruhi proses politik, legislasi, dan birokrasi.

Tarik ulur dalam masalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya satu contoh dari berbagai reformasi tandingan yang sedang berlangsung di negeri ini. Oleh karena itulah memilih jalan lurus reformasi akan berbenturan dengan mereka dan mengandung risiko-risiko politik, hukum, dan birokrasi yang nyata.

Saatnya memilih bagi SBY

Apakah SBY telah dipilih oleh sejarah untuk mengemban misi besar menuntaskan reformasi dan selamanya meletakkan Indonesia pada jalur kesejahteraan dan kemajuan? Pertanyaan ini tak bisa dijawab apriori terhadap apa yang akan dilakukannya. Namun, SBY berada dalam posisi yang unik yang tidak pernah dimiliki oleh presiden Indonesia lainnya: terpilih dalam pemilu presiden langsung dengan suara mayoritas yang sangat signifikan, dukungan legislatif yang besar, terutama melalui dominasi Partai Demokrat di DPR, dan termin kedua sebagai presiden yang membuatnya tidak perlu memikirkan ”basa-basi” politik agar terpilih kembali.

Tidak berlebihan bila dikatakan nasib Indonesia dan SBY pada saat ini berpilin sangat erat. Keputusan moral dan pilihan politik SBY akan menentukan perjalanan sejarah Indonesia. Reformasi politik, hukum, dan birokrasi yang tuntas menjadi syarat bagi Indonesia masa depan. Ini adalah tantangan sejarah.

Rakyat Indonesia dengan harap-harap cemas menunggu SBY untuk menjawab tantangan ini dengan keputusan moral dan pilihan politik yang tepat. Keputusan dan pilihan ini menentukan seberapa cepat Indonesia menuju ke masa depan yang adil, sejahtera, dan bermartabat.

Pada gilirannya pilihan ini juga akan menentukan warisan apa yang akan ditinggalkan SBY: apakah sekadar menjadi presiden biasa saja ataukah seorang pemimpin besar yang akan dikenang sepanjang masa oleh bangsanya dan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar