Minggu, 13 November 2011

Makna Teologis dan Sosiologis Ibadah Puasa

UMAT Islam Indonesia kembali akan menjalani puasa Ramadhan. Bagi umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, suasana Ramadhan kali ini cukup memprihatinkan. Tidak salah bila dikatakan, puasa tahun ini tampaknya, kita benar-benar disuruh dan dituntut berpuasa. Artinya, berpuasa bukan sekadar memenuhi perintah agama, tetapi juga karena kondisi nyata bangsa yang kini sedang dilanda demoralisasi individual dan sosial. Demoralisasi ini, menurut Marciano Vidal, tampak dalam gejala kejahatan moral dan keadaan masyarakat yang kian tak peduli atau menegasikan nilai-nilai moral-Ketuhanan.

Kondisi yang sudah runyam, kini diperparah munculnya aksi teror bom high explosive di Pantai Legian, Bali, yang menewaskan ratusan orang dan melukai lebih 300 orang. Tragedi 12 Oktober itu benar-benar menimbulkan duka yang mendalam dan membuat posisi kita kian terpuruk di pentas dunia. Bukan sekadar nama baik, kepercayaan, dan kehormatan, tetapi juga akibat dan pengaruhnya untuk kepercayaan ekonomi, politik, dan keamanan. Bali yang oleh orang Australia dibanggakan sebagai apart of Perth, kini berubah menjadi Bali is only apart of terorism and bombing. Bali sudah sama seperti induk semangnya, Republik Indonesia, yang citranya terpuruk di mata dunia.

Sementara itu, pada sisi lain, meski tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, di bulan suci Ramadhan ini, kita masih bisa menyaksikan maraknya keberagamaan umat Islam Indonesia yang memang mayoritas. Fenomena ini tidak saja tampak di berbagai masjid atau mushala, tetapi juga di berbagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan, dan bahkan seluruh media cetak dan elektronik sekalipun, secara khusus menyajikan paket-paket aktivitas selama bulan Ramadhan.

Di balik tragedi dan fenomena itu, sebagai orang yang akan menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, kita patut bertanya kepada diri kita masing-masing, kesalahan dan dosa apakah yang telah kita perbuat? Bagaimanakah berpuasa secara kualitatif sebagai ibadah wajib di bulan Ramadhan ini? Lalu, apa yang bisa diperoleh, seandainya ibadah puasa itu benar-benar dilakukan dengan sebaik-baiknya (imanan wahtisaban)? Pertanyaan ini cukup relevan dan signifikan untuk dikedepankan, agar puasa yang kita lakukan selama sebulan penuh benar-benar mengarah pada substansi ibadah itu dan implikatif sekaligus reformatif bagi perilaku dan moralitas kita sehari-hari, baik yang berdimensi politik, sosial-ekonomi, maupun hukum. Ini sungguh penting, karena Nabi SAW pernah memberi early-warning, "Sekian banyak orang menjalankan puasa, tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga".

Dari peringatan itu, seorang sufi besar, Imam Al-Ghazali dalam karya magnum opus-nya, Ihya' Ulumuddin, membagi tingkat puasa itu ke dalam tiga kualifikasi.

Pertama, puasa am, yakni puasa yang dilakukan sebatas menahan diri dari makan, minum, dan seks.

Kedua, puasa khash, yakni puasa yang dilakukan selain dengan menahan diri dari ketiga hal pertama itu juga dengan menjaga penglihatan, pendengaran, dan ucapan yang berbau maksiat.

Ketiga, puasa khawasul khawas, yakni puasa yang dilakukan bukan saja menahan diri dari ketiga hal pertama dan kedua, tetapi diikuti dengan menjaga suasana hati atau batin dari hal-hal yang rendah, berorientasi materialis, dan berbagai kecenderungan hati yang destruktif-anarkis.

Tentu saja, kita ingin menjalankan ibadah puasa dengan kualitas khowasul khawas. Salah satu caranya dengan "menghadirkan Tuhan" dalam diri kita, dalam arti merasa selalu dikoordinasi Tuhan (God consniousness). Namun, untuk mencapai tingkatan ini, tampaknya, dibutuhkan pemahaman yang cukup komprehensif dan integral, tidak parsial dan ad-hoc, dari dimensi-dimensi yang melekat pada ibadah puasa itu sendiri, yakni dimensi teologis dan sosiologis.

Dimensi teologis

Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, dengan ibadah puasa diharapkan kita menjadi orang yang takwa (QS.2:183). Ini berarti, dengan puasa manusia akan mampu menggapai derajat tertinggi kemanusiaan. Karena itu, ibadah puasa oleh Nabi SAW dipandang lebih berat dari perang mana pun yang telah dan mungkin bakal terjadi di dunia ini. "Kita baru saja kembali dari perang kecil (Badar) dan akan menuju perang yang terbesar, yaitu melawan hawa nafsu (puasa)", demikian penegasan Nabi SAW di hadapan prajuritnya.

Dimensi teologis puasa, secara implisit, dinyatakan dalam sebuah Hadis, bahwa dari sekian banyak amal ibadah anak Adam, ibadah puasalah yang segala rahasianya hanya Tuhan sendiri yang tahu. Di sini terlihat adanya prinsip dualitas, antara al-Khalik (Pencipta) dan makhluk, antara yang memiliki otoritas absolut untuk memerintah dengan yang berkewajiban menaati.

Di sisi lain, seruan puasa kepada orang-orang beriman (QS.2:183), mengandung implikasi, hanya orang beriman yang akan sanggup menempatkan prinsip dualitas itu pada proporsi sebenarnya. Sebab, iman sebagai sebuah epistemologi (bukan kepercayaan an-sich) akan memberi kemampuan kepada siapa pun yang secara maksimal berusaha meningkatkan daya nalarnya menuju al-Khalik. Orang semacam ini, menurut bapak filsafat modern, Rene Descartes, bukan hanya akan mampu melihat jiwa di dalam dirinya, tetapi juga hakikat Tuhannya.

Jika demikian, term takwa sebagai terminal akhir ibadah puasa, hanya akan memiliki dimensi ruang dan waktu proses dalam diri orang-orang yang mampu meningkatkan daya nalarnya. Satu hal yang perlu ditegaskan, takwa bukanlah takut kepada Tuhan, sebab Tuhan dalam Islam bukan sesuatu yang menakutkan atau perlu ditakuti. Sebaliknya, citra Tuhan dalam Islam adalah Dia yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Pemberi Maaf, Pemelihara, dan Pelindung manusia.

Memperhatikan prinsip dualitas itu, takwa sebenarnya kesadaran dari proses pengembaraan nalar manusia terhadap al-Khalik yang akan memberi penilaian atas perbuatan rasional manusia. Atau, menurut Fazlur Rahman, takwa adalah kekokohan dalam tensi-tensi moral (batas-batas yang telah ditentukan Tuhan). Dengan demikian, takwa adalah kesadaran akal budi bahwa Tuhan adalah sumber kenormativan.

Jika saya mengatakan, untuk berpuasa secara kualitatif harus mampu "menghadirkan Tuhan" dalam diri kita, karena hanya dengan cara itu Tuhan sebagai sumber kenormativan akan selalu menjadi obsesi yang agung, baik dalam tataran pikiran, ucapan, ataupun tindakan setiap Muslim. Inilah yang diilustrasikan dalam sebuah Hadis Qudsi: "Seorang hamba akan berupaya mendekatkan diri kepada-Ku, hingga Aku mencintainya, dan bila Aku mencintainya, menjadilah pendengaran-Ku yang digunakannya untuk mendengar, penglihatan-Ku yang digunakannya untuk melihat, tangan-Ku yang digunakannya untuk bertindak, serta kaki-Ku yang digunakannya untuk berjalan".

Dimensi sosiologis

Persoalan yang kemudian muncul adalah, sebagai puncak kesadaran akal budi, takwa hanya akan memiliki makna dalam konteks sosial. Karena itu, puasa secara kualitatif adalah dengan "menghadirkan Tuhan" dalam diri kita di tengah kehidupan masyarakat. Di sinilah implementasi ibadah puasa mendapat signifikansinya. Artinya, dimensi teologis ibadah puasa harus ditransformasikan ke dalam dimensi sosiologis, agar kebahagiaan religius dapat dirasakan, baik secara etik maupun secara moral.

Konsekuensi etis dari ibadah puasa memang menjadi urusan Tuhan, tetapi konsekuensi moralnya menjadi tanggung jawab kita dalam interelasinya sebagai anggota masyarakat. Di bidang sosial-ekonomi, misalnya, ibadah puasa harus menjadikan pelakunya mampu melihat dan tergerak memberantas kemiskinan, membantu rakyat kecil, apalagi krisis ekonomi yang sudah sekian lama menghimpit bangsa ini tak kunjung padam, bahkan cenderung kian runyam. Tanpa kesadaran itu, ibadah puasa hanya akan berubah menjadi perbuatan yang munafik.

Jadi, secara individual atau komunal, puasa harus memberi kekuatan pada pelakunya untuk mengendalikan keinginan dan kepentingan individu atau kelompoknya. Hal ini merupakan internalisasi logis dari pengalaman keagamaan yang bermuara pada prinsip tauhid, yang menolak disequilibrium ekonomi dan ketidakadilan sosial.

Juga di bidang politik, ibadah puasa niscaya akan menjadikan pelakunya mampu melihat dan membuka nuraninya untuk membenahi moralitas bangsa kita yang telah lama berkarat. Puasa semestinya mampu membuka nurani wakil rakyat, yang dalam kadar tertentu telah mengubah lembaga tertinggi negara itu menjadi semacam lembaga profesi, bisnis, dan merebut kekuasaan. Bahkan, ibadah puasa seharusnya mampu menggerakkan kesadaran elite politik kita, baik yang ada di "rumah rakyat" maupun di lembaga pemerintahan, untuk memiliki sense of crisis dan berusaha secara evolutif dan konsisten untuk menegakkan the rule of law dan law enforcement, demi tegaknya demokrasi dan suksesnya agenda reformasi.

Dengan demikian, ibadah puasa di tengah era reformasi ini, diharapkan mampu menggerakkan seluruh potensi negara dan bangsa menuju Indonesia Baru, dengan tatanan masyarakat madani (civil society) yang etis, demokratis, egaliterian, dan sesuai providentia Ilahi yang harmonis.

Dengan pemahaman semacam itu, kita bisa membaca, betapa warning Tuhan bagi kita saat ini cukup gamblang. Tidakkah diperhatikan, apa yang tersisa dari kita sebagai bangsa sekarang ini: tatanan ekonomi yang masih tetap amburadul, kecenderungan sosial yang kian anarkis, kejahatan moral di tingkat elite dan grass root yang kian memprihatinkan. Bahkan, aksi terorisme yang membuat citra Indonesia kian terpuruk di mata dunia, menyusul Tragedi Bali, 12 Oktober lalu, kini membayangi setiap langkah anak-anak bangsa ini. Demikiankah ekspektasi kita atas bergulir dan bergaungnya reformasi di segala aspek kehidupan yang selalu didengung-dengungkan selama ini?

Marilah kita jadikan bulan Ramadhan kali ini sebagai momentum untuk bebenah diri, introspeksi, cooling dawn, berkontemplasi, dan merefleksi diri, baik sebagai individu yang nyata-nyata dha'if (lemah) di hadapan Tuhan maupun sebagai bangsa yang kini sedang bertaruh atas masa depannya. Aktualisasinya, antara lain dengan berani mengadakan reformasi ke arah perbaikan sistem politik, ekonomi, hukum, dan moralitas, sambil membabat habis benalu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kekerasan politik, aksi terorisme, serta pelanggaran HAM dalam segala macam bentuk dan manifestasinya. Itulah sesungguhnya makna teologis dan sosiologis ibadah puasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar