Minggu, 13 November 2011

Mudik Kultural dan Spiritual

Satu pemandangan yang tampaknya tidak akan hilang pada setiap menjelang Lebaran adalah tradisi mudik. Mudik memang telah menjadi tradisi yang berlangsung lama dalam kultur masyarakat Indonesia pada setiap tahunnya. Para pemudik adalah mereka yang hijrah ke kota, daerah lain, bahkan negara lain, untuk bertemu kembali dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan sahabat.

Tradisi mudik bukan hanya erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga erat kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan manusia. Paling tidak ada tiga dimensi yang dapat kita amati dalam tradisi mudik. Pertama, mudik memiliki dimensi spiritual- kultural. Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar Kayam (2002) bahwa tradisi mudik terkait dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur.

Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula ikatan batin antara yang hidup dan yang mati tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa di jasad. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa berziarah dan mendoakan leluhur adalah kewajiban. Karena itu muncullah tradisi berziarah dalam kurun waktu tertentu meskipun dipisahkan oleh kondisi geografis. Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi berziarah inilah yang kemudian berdialektika dengan kultur masyarakat yang kemudian melahirkan tradisi mudik.

Kedua, mudik memiliki dimensi psikologis. Pulang ke kampung halaman bagi para pemudik bukan hanya sebatas untuk merayakan Lebaran bersama keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Kerasnya kehidupan kota, bisingnya kota, dan berbagai tekanan kerja lainnya membuat para migran ini mengalami stres di tempat kerja, sementara keluarga yang menjadi tempat berbagi rasa jauh darinya.

Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres bagi masyarakat migran kota.

Ketiga, dimensi sosial. Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan merupakan sebuah kebanggaan. Mudik menjadi salah satu media untuk mengomunikasikan cerita keberhasilan sekaligus menaikkan posisinya pada strata sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya. Cerita sukses hidup di rantau biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk aksesoris dan gaya hidup para migran di tanah kelahiran. Tak pelak pada kondisi terakhir ini mudik juga menjadi media penyalur watak konsumeris dan hedonis.

Menuju spiritual

Dalam catatan Umar Kayam, mudik sejatinya tradisi lama yang pernah menghilang. Sejak Islam datang mulai terkikisnya budaya syirik, ziarah menemukan momentum saat Lebaran. Apalagi kultur Jawa yang kemudian diterima oleh kalangan Islam tradisional menghasilkan akulturasi budaya yang harmoni. Perlahan ziarah kubur yang dianggap sebagai syirik dapat diterima oleh kalangan tradisional dengan disisipi ajaran agama. Mudik pun menjadi salah satu tradisi spiritual bagi masyarakat untuk melakukan ziarah ke makam leluhur.

Sayangnya tradisi mudik yang demikian kemudian luntur lantaran niat mudik hanya untuk sekadar kelangenan (kesenangan), menghamburkan uang, menunjukkan sikap konsumeris dan hedonis. Akibatnya, mudik selalu menjadi persoalan, terutama terkait dengan kemacetan, kecelakaan, kriminalitas jalanan, percaloan, dan kenyamanan transportasi.

Mudik dalam arti spiritual jarang dilakukan karena ia tidak banyak memberi kepuasan bagi para pemudik. Padahal tradisi mudik yang selama ini terjadi, jika dikaitkan dengan tradisi Lebaran, jauh dari spirit yang mestinya dibangun. Hal ini merupakan sebuah kewajaran karena nilai-nilai spiritual lebih bersifat abstrak dan tidak dapat dirasakan oleh orang lain.

Said Aqiel Siradj (2006) menegaskan bahwa makna tradisi Lebaran sebenarnya menyemai spirit spiritual-vertikal. Dalam arti orang-orang yang merayakan harus kembali pada kefitrian (kesucian) jati diri kemanusiannya sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan ibadah puasa yang dilakukan selama satu bulan penuh.

Spiritual-vertikal manusia ditempuh dengan ibadah dan akan sempurna jika dilanjutkan pada kesalehan sosial-horizontal. Silaturahim menjadi wujud konkret dalam hal ini. Mudik seharusnya dimaknai dengan menyambung hubungan spiritual dengan para leluhur dan menyambut tali silaturahim dengan keluarga, saudara, kerabat, dan sahabat. Bukan untuk kepentingan prestise sosial ataupun kepentingan material lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar