Jumat, 04 November 2011

Bung Karno Vs Kartosuwiryo dalam Buku

Alhamdulillah yaaa… Sesuatu bangettt… Buku “Bung Karno Vs Kartosuwiryo” telah selesai cetak. Bahkan, sudah “nyaris” terdisplay di toko-toko buku, Senin, 10 Oktober 2011 lalu. Ya, itu tanggal yang dijadwalkan penerbit Imania untuk mendisplay buku ini. “Luar Jawa malah lebih dulu, pak Roso…,” ujar seorang manajer di penerbitan Imania, penerbit buku saya itu.

Biasanya, saya rajin mengabarkan kepada khalayak ihwal kemunculan buku baru itu. Bukan saja bertujuan promosi supaya bukunya terbeli, lebih dari itu, dorongan “berbagi” kepada sesama Sukarnois begitu besar. Tapi, mengingat kesibukan, saya memang tidak, atau belum melakukannya. Hhhmmm, apa jadinya kalau sudah dipromosikan tanggal 10 Oktober bisa dibeli di toko buku, tapi ternyata tidak ada barangnya?
Kalau tidak salah ingat, tanggal 12 Oktober, manajer Imania menelepon, meminta maaf tentang buku saya yang belum bisa dipasarkan. Saya tanya alasan, dia menjawab direksi keberatan dengan sebagian isi kata pengantar buku. Sempat mereka meminta izin untuk menghapus kata pengantar. Saya tentu saja keberatan. Kata pengantar justru penting untuk conditioning pembaca masuk pada materi buku. Kalau ujug-ujug pembaca disodori materi tanpa pengantar, sama saja kita disuruh makan singkong rebus tanpa air. Bayangkan saja….
Saya menolak. Lantas si manajer meminta saya melakukan editing, saya juga menolak. Bukan saya tidak mau kompromi. Alasan saya ada dua, pertama, saya memang benar-benar sedang tidak ada waktu untuk mengedit kata pengantar. Kedua, berhubung yang keberatan adalah direksi, maka seyogianya pihak penerbit yang mengedit. Bukankah begitu? Maka saya usul, “Silakan diedit seperlunya. Saya menyetujui, dan lanjutkan proses cetak ulang dan pendistribusiannya ke toko-toko buku.”
Begitulah sekelumit romansa yang mewarnai kelahiran buku “Bung Karno Vs Kartosuwiryo, Membongkar Sumber Dana DI/TII” ini. Tidak seperti dua judul sebelumnya yang dicetak di Imania, maka pada buku ketiga ini, rasa merasa terhormat, karena direksi penerbit itu tiba-tiba menjadi begitu perhatian. Mulai dari usul pemilihan topik, hingga gonta-ganti cover. Dalam pikiran yang selalu saya usahakan untuk positif, tentu saja saya senang karena itu artinya mereka menganggap penting.
Penting bisa diartikan, materi buku ini memang patut mendapat perhatian ekstra. Penting bisa juga berarti, buku ini memang punya nilai jual. Entahlah. Yang pasti, buku ini memang beda dari kedua serial terdahulu. Ini lebih fokus pada sekelumit kiprah Bung Karno yang bersinggungan dengan Islam. Khususnya Islam garis keras.
Tetapi, format buku secara umum, tidak terlalu menyimpang dari kedua buku terdahulu. Tetap bersumber dari postingan saya di blog ini. Mudah-mudahan tetap “enteng-berisi”. Saya berharap, sekalipun topiknya cukup berat, tetapi tetap bisa dinikmati secara santai.
Pertanyaannya tentu: Kapan buku itu bisa didapat? Penerbit yang punya kapasitas menjawab. Hanya saja, kepada saya mereka mengatakan, “pencetakan ulang kata pengantar, sebentar kok. Mudah-mudahan akhir Oktober 2011 ini sudah beredar di toko-toko buku.” (roso daras)
Diterbitkan di:
• Pustaka
• Uncategorized
on 14 Oktober 2011 at 02:58 Komentar (6)
Tags: buku roso daras, Bung Karno, DI/TII, Kartosuwiryo

Tentang Buku Ketiga, Bung Karno vs Kartosoewirjo
Di tengah kepenatan fisik dan otak, izinkan saya mengabarkan, keseluruhan naskah buku ketiga sudah selesai dan terkirim ke penerbit Imania. Buku ketiga, berbeda dengan dua buku terdahulu. Jika buku pertama dan kedua, menggunakan judul yang sama “Bung Karno, the Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer” (buku 1 dan 2), maka yang ketiga, atas kesepakatan dengan penerbit, diambil satu tema besar. Atas kesepakatan pula, di buku ketiga, mengangkat judul “Baratayudha, Bung Karno vs Kartosoewirjo”, disambung judul serial “Serpihan Sejarah yang Tercecer, buku ke-3.
Sesuai tema besar, maka ulasan tentang perseteruan politik antara Bung Karno dan Kartosoewirjo, mendapat porsi yang cukup besar. Selain memang unik, juga terbilang dramatis. Dua sahabat yang sempat belajar dan indekos bersama di kediaman HOS Cokroaminoto di Surabaya, pada akhirnya harus berseberangan pandang. Bung Karno sebagai Presiden, menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara. Sementara itu, SM Kartosoewirjo memberontak dan memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII).
Apa hendak dikata, dalam perspektif kenegaraan, tindakan Kartosoewirjo adalalah satu bentuk makar. Karenanya, Pemerintah RI berkewajiban menumpasnya. Pasukan TNI pun melakukan perlawanan dan usaha penumpasan kaum pemberontak DI/TII ini hingga ke akar-akarnya. Keselurhan operasi ini menelan waktu tak kurang dari lima tahun.
Selama itu pula, DI/TII yang didukung aksi intelijen Amerika Serikat, mendapat sokongan senjata, peralatan komunikasi canggih, dan… tentu saja guyuran dolar. Sejatinya, pemberontakan yang disponsori asing, bukanlah yang pertama. Bahkan dalam bentang sejarah kita, hampir semua aksi politik yang berujung pada suksesi kepemimpinan nasional, tak pernah luput dari pengaruh dan peran asing.
Orde Baru berhasil menumbangkan pemerintahan Sukarno, tak lepas dari peran aktif CIA. Gelombang demonstran yang didukung Angkatan Darat, adalah bagian dari skenario besar menumbangkan “singa Asia” ketika itu, Sukarno. Negeri-negeri Barat sangat geram dengan Bung Karno, yang berhasil menggalang kekuatan Asia-Afrika, bahkan sedia mencetuskan CONEFO (Conference of New Emerging Forces). Jika itu terwujud, di dunia ini akan bercokol dua organisasi negara-negara.
PBB yang dikritik habis oleh Bung Karno karena tak bisa melepaskan diri dari hegemoni super power, dilawan Sukarno dengan menggalang kekuatan-kekuatan baru, dari negara-negara yang baru melepaskan diri dari aksi kolonialisme (penjahan). Spirit melawan negara maju yang hendak mencengkeramkan kekuasaannya kembali melalui proyek-proyek ekonomi, dilawan Bung Karno dengan lugasnya.
Bukan hanya itu. Lagi-lagi, asing pun berperan besar dalam menumbangkan Orde Baru, manakala Soeharto mulai kehilangan kendali atas kekuasaannya. Ditambah, kecenderungan korupsi serta praktek-praktek nepotisme yang berkembang di luar batas kewajaran. Sekali dongkel, dengan didahului prahara badai krisis moneter, tumbanglah rezim Orde Baru.
Kembali ke topik buku. Sebagai Sukarnois, tentu saja tulisan itu beranjak dari perspektif yang tentu saja bertentangan dengan perspektif kelompok ekstrim kanan yang menghendaki Indonesia menjadi negara Islam. Rasanya ini tidak keliru, sepanjang NKRI masih berstatus negara republik dengan landasan ideologi Pancasila. Tentu lain soal seandainya pemerintah dan parlemen menyepakati perubahan ideologi dari Pancasila ke Islam.
Akan tetapi, sepanjang NKRI konsisten dengan Pancasila sebagai ideologi negara, maka bukan saja konsep negara Islam tidak dibenarkan secara konstitusi, juga upaya-upaya ideolog lain, seperti komunis, misalnya, juga tak akan pernah menjadi gerakan legal.
Materi tentang Bung Karno vs Kartosoewirjo, dilengkapi pula dengan sejumlah naskah-naskah pendek sebagai pelengkap sekaligus penguat. Selain itu, penulis juga menyajikan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang kini kita peringati sebagai hari kelahiran Pancasila. Ini menjadi relevan, agar audiens memahami bagaimana para founding father menyepakati ideologi negara kita.
Yang tak kalah menarik, saya sajikan pula sebanyak 12 surat-surat Islam Bung Karno dari Ende. Ini adalah fase Bung Karno mendalami Islam, dan belajar bersama Ahmad Hassan, yang ketika itu berada di Bandung. Surat-menyurat Ende-Bandung itu, tidak melulu sebagai sajian surat belaka. Penulis melengkapinya dengan pengantar yang cukup panjang, untuk lebih memperkenalkan sosok A. Hassan, serta bagaimana riwayat perkenalan Bung Karno dan A. Hassan.
Pada tiap-tiap akhir surat, penulis membuat catatan-catatan. Ada yang berupa komen atas surat tersebut, ada juga yang merupakan upaya memperkaya literasi, sehingga audiens bisa lebih gamblang mencerna surat-surat Bung Karno, serta lebih menghayati suasana kebatinan maupun latar belakang lahirnya surat-surat tersebut.
Dibanding buku pertama yang 200 halaman lebih, dan buku kedua yang lebih tipis sedikit, maka buku ketiga ini diperkirakan mencapai ketebalan lebih dari 260 halaman. Sekalipun begitu, penerbit telah mengkalkulasi sedemikian rupa, sehingga tidak akan memberatkan kocek peminat buku ini, akibat harga yang tinggi. Dari konfirmasi sementara, buku ketiga ini akan luncur sekitar bulan Oktober 2011. Mohon doa restu agar segala sesuatunya berjalan lancar. (roso daras)
Diterbitkan di:
• Pustaka
• Uncategorized
on 7 Juli 2011 at 17:12 Komentar (9)
Tags: A. Hassan, buku roso daras, Bung Karno vs Kartosoewirjo, ende, surat islam Bung Karno

Rencana Cover ke-3, Dipilih…Dipilih…
Dua hari lalu, penerbit Imania mengirimkan rencana cover buku yang ke-3. Seperti postingan terdahulu, dalam buku ketiga dan Insya Allah selanjutnya, pendekatan judul serta content mixed, dibuat sedikit berbeda dari dua buku terdahulu. Kali ini, fokus tulisan pada “perseteruan” Bung Karno dan Kartosoewirjo.
Ah, tapi ini bukan posting tentang konten buku ketiga. Selain tidak membuat Anda penasaran untuk membaca (tepatnya: membeli) buku ini, juga karena saya ingin berbagi dan minta masukan sidang pembaca blog ini sekalian, terhadap rancangan cover yang telah disiapkan penerbit. Ada dua rancangan cover, seperti terlihat di bawah ini: versi A dan versi B.

Nah, atas pilihan cover tersebut, saya pribadi memiliki beberapa catatan. Misalnya, komposisi judul dan foto, saya cenderung melilih yang B, dengan catatan, boks bertuliskan “The Other Stories 3″ lebih dirapatkan ke atas, menempel teks “Serpihan Sejarah yang Tercecer”. Keseluruhan judul juga bisa lebih ke atas.
Kemudian, ilustrasi perang baratayudha dalam epik Mahabarata itu, saya cenderung memilih yang versi A. Sebab, warna sephia di versi A rasanya lebih cocok dengan desain yang B. Dengan sedikit penguasaan software adobe photoshop, beberapa catatan tersebut saya wujudkan menjadi seperti di bawah ini:

Nah, bagaimana menurut Anda? (roso daras)
Diterbitkan di:
• Pustaka
on 23 Juni 2011 at 05:28 Komentar (7)
Tags: baratayudha, buku bung karno, buku roso daras, Bung Karno, kartosoewirjo, roso daras

Cover Final Buku Jilid II

Lama gak nengok email (gara-gara telkomselflash error…), ternyata penerbit Imania sudah beberapa hari berkirim konsep final cover untuk buku jilid II (seperti tampak di atas). Menurut penerbit, itulah konsep cover yang “hampir pasti” digunakan untuk buku Bung Karno, Serpihan Sejarah yang Tercecer, The Other Stories jiid ke-2.
Tampaknya ini merupakan kompromi dari empat versi (dua versi besar) yang sudah terposting beberapa waktu yang lalu. Menurut penerbit, inilah desain cover yang mewakili aspirasi masyarakat. Tentu saja ada yang cocok, setengah cocok, atau bakan kurang cocok. Meski begitu, harapan penerbit, desain ini mewakili rasa cocok pembaca sekalian. (roso daras)

Diterbitkan di:
• Pustaka
on 19 Agustus 2010 at 15:31 Komentar (16)
Tags: buku roso daras, Penerbit Imania, the other stories

Suatu Sore di CityWalk Sudirman
Ini kabar tentang peluncuran buku, Bung Karno, The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer, Sabtu 9 Januari 2010 di CityWalk Sudirman, Lantai 1, Jakarta Pusat. Acara yang diisi talk show dengan pembicara tunggal sang penulis, dipandu dengan cantik oleh Lia, sang penyiar RRI Pro 2 FM Jakarta.

Dalam kesempatan itu, hadir tokoh nasionalis H. Amin Aryoso, SH, didampingi putranya, Azis Aryoso. Dalam salah satu kesempatan dialog, H. Amin Aryoso bahkan menyampaikan informasi menarik seputar Bung Karno dan para wanita. Spontan informasi tadi disambar hadirin yang lain dengan mengusulkannya menjadi sebuah buku baru.


Membahas Bung Karno dan para wanitanya, tidak akan pernah kering. Dalam forum itu, Agus Salim, pentolan Insan Muda Indonesia bahkan mengemukakan informasi yang pernah diterimanya. Sebagai generasi belia, ia pernah mendapat informasi tentang “kenakalan” Bung Karno ihwal perempuan. “Saya pernah mendengar, kalau Bung Karno berpidato, dan tangannya sudah menunjuk ke satu arah beberapa kali, maka sang ajudan atau pengawal harus tanggap… itu artinya di lokasi yang ia tunjuk ada wanita yang ditaksir Bung Karno…,” ujar Agus Salim sambil terkekeh.
Saya, tidak dalam posisi membenarkan ataupun menyanggah. Dalam hati saya hanya berimajinasi, berorasi di atas podium sambil melirik ke kanan dan ke kiri –di balik kacamata hitam– mencari wanita untuk ditunjuk. Apa mungkin? Di sisi lain, Bung Karno terbukti banyak melakukan hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Jadi? (roso daras)


Diterbitkan di:
• Uncategorized
on 13 Januari 2010 at 02:33 Komentar (3)
Tags: buku roso daras, the other stories

Ini Buku Baru… Ini Baru Buku…

Sebelumnya, saya minta maaf, jika untuk waktu yang lumayan lama, Anda akan menjumpai cover buku ini terus…. Bukan maksud menghentikan posting naskah baru, tapi November ini adalah bulan promosi buku…. Ya, buku Bung Karno, Serpihan Sejarah yang Tercecer ini beredar mulai pertengahan November 2009.
Jadi ada baiknya… saya alokasikan waktu yang cukup lama, buat menampung segala komen, kritik, dan saran Anda atas buku ini. Segala koreksi positif dan kritik produktif Anda sekalian, pengunjung setia blog ini, akan kami jadikan landasan pijak guna memperbaiki serial buku selanjutnya.
Terima kasih….
Wassalam
Diterbitkan di:
• Pustaka
on 4 November 2009 at 19:32 Komentar (24)
Tags: buku roso daras, Bung Karno, serpihan sejarah yang tercecer, the other stories

Segera Terbit

Penerbit Etera Imania bekerja sama dengan Media Mulia segera meluncurkan buku berjudul “Bung Karno, The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer”. Buku itu adalah jawaban atas saran dan permintaan pengunjung blog yang budiman, yang menghendaki agar konten blog ini dibukukan.
Buku seri pertama itu, berisi sedikitnya 30 judul pilihan. Agar menjadi lebih “layak”, penulis menambahkan sejumlah data dan narasi pada keseluruhan materi buku. Selain itu, buku ini juga berisi kata pengantar dari Dr Cornelis Lay, akademisi UGM Yogyakarta, yang pernah tercatat sebagai penasihat Presiden Megawati Soekarnoputri.
Selain pengantar “Conny”, tiga tokoh nasionalis ikut meng-endorse buku ini. Mereka adalah Abdul Madjid (mantan Sekjen PNI), Moch. Achadi (mantan Mentranskop Kabinet Dwikora), dan H. Amin Aryoso, SH (tokoh nasionalis Indonesia).
Buku ini rencana terbit akhir Oktober 2009. Event launching direncanakan awal November 2009. Mohon doa restu dan sambutan hangat Anda semua. (roso daras)
Diterbitkan di:
• Pustaka
on 9 Oktober 2009 at 10:36 Komentar (62)
Tags: buku roso daras, etera imania, media mulia

Pidato Terakhir Bung Karno

Ini tentang sebuah buku yang saya tulis tahun 2001, berjudul Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Never Leave History!). Buku ini –believe it or not– saya tulis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, dan menjadi salah satu buku dari serangkaian buku Seri Pemikiran Bung Karno yang diterbitkan Grasindo (PT Gramedia Widiasarana Indonesia) dalam rangka memperingati 100 Tahun Proklamator kita.
Dalam buku ini, saya menafsirkan dan menginterpretasikan pidato Bung Karno pada peringatan 17 Agustus 1966, serta membandingkan dengan situasi aktual ketika itu. Moralnya hanya ingin menunjukkan bahwa dalam banyak hal, pemikiran dan penuturan Bung Karno bersifat everlasting… evergreen... tak lekang dimakan waktu. Banyak wejangan Bung Karno yang terbukti relevan dengan situasi dan kondisi saat ini, dan saya yakin, hingga ke masa depan. Satu hal yang membuat saya menilai Bung Karno adalah seorang futurolog yang baik.
Ihwal pidato 17 Agustus 1966 yang saya katakan sebagai pidato terakhir, dalam pengertian pidato kenegaraan yang begitu dinanti rakyat Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Sejarah telah mencatat, 17 Agustus 1967 dia sudah tidak lagi berkuasa, sehingga mulutnya terkunci, dan dunia tak lagi mendengar spirit progresif revolusioner dari seorang Putra Sang Fajar. Dunia tak lagi menyimak kecamannya atas hegemoni liberalisme dan kapitalisme.
Selain menafsir pidato yang sering disingkat orang dengan “Jas Merah” itu, saya juga melakukan riset kecil-kecilan terkait respons media massa pada zamannya. Beberapa kali saya masuk-keluar perpustakaan nasional, membolak-balik lembar demi lembar koran tua. Beberapa artikel dan berita, saya sertakan pada epilog buku agar pembaca maklum, bahwa tahun 1966, sejumlah media memang telah memposisikan Bung Karno pada satu sudut yang sulit. Ada semacam penggalangan opini yang begitu sistematis terkait peristiwa G-30-S/PKI, sehingga Bung Karno “dipaksa” harus menerima status sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Di sini sebuah ironi tampak. Seorang Presiden yang hendak dikudeta, justru dituding “terlibat” (langsung atau tidak langsung) dengan kudeta itu sendiri. Nalar mana yang membenarkan seorang presiden mengkudeta dirinya sendiri?
Alhasil, “pesan terakhir” Bung Karno yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, saya resapi sebagai sebuah seruan yang harus terus digaungkan sepanjang zaman. Bangsa yang melupakan sejarah, akan dengan mudah tercerabut dari akar sejarah itu sendiri, dan menjadi bangsa antah berantah. Indonesia, saya katakan sebagai sebuah bangsa dan negara yang sedang dalam proses melupakan sejarah.
Entah diskenariokan atau tidak, amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR periode 1999 – 2004 yang mengubah sistem tatanan negara, sistem politik, dan sistem demokrasi (50 + 1 boleh mambantai yang 49), telah mengakibatkan kita bukan lagi “Indonesia yang mengagungkan musyawarah gotong royong”. Perubahan pasal 33, mengakibatkan kita terjerumus pada ekonomi pasar bebas dalam keadaan kita masih teramat rapuh. Tidaklah heran jika sumber daya alam yang begitu melimpah, tak juga mampu mengangkat derajat dan kesejahteraan bangsa. Sebab, para komprador bangsa telah “menjual” Indonesia untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. (roso daras)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar