Jumat, 04 November 2011

Apakah Yesus itu Allah?

YESUS KOMPLEKS:
Pernahkanh Anda bertemu dengan seseorang yang punya magnet personal begitu besar, sehingga dia selalu jadi pusat perhatian? Mungkin karena kepribadiannya atau kepintarannya – tapi ada sesuatu dari dia yang mempesona. Itulah yang terjadi dua ribu tahun lalu terhadap Yesus Kristus.
Keagungan Yesus sangat jelas bagi mereka yang melihat dan mendengar-Nya. Tapi, ketika hampir seluruh orang besar pelan-pelan hilang dalam buku-buku sejarah, Yesus dari Nazareth tetap jadi fokus kontroversi di banyak buku dan media. Dan sebagian besar kontroversi berada disekitar klaim radikal Yesus mengenai dirinya sendiri.

Sebagai tukang kayu dari sebuah desa di Galilea di Israel, Yesus mengklaim djrinya, jika benar, memberikan implikasi besar terhadap hidup kita. Menurut Yesus, Anda dan saya istimewa, bagian dari rencana besar kosmis dan Dia adalah pusat dari semuanya. Klaim ini dan yang lain semacamnya mengagetkan mereka yang mendengarnya.
Klaim tersebit membuat banyak orang marah saat itu, Yesuslah yang menyebabkan Dia dipandang sebagai pengacau oleh penguasa Romawi dan Yahudi. Kendati Dia adalah orang luar yang tidak punya kredensial atau basis politik, dalam waktu tiga tahun, Yesus mengubah dunia selama dua puluh abad terakhir ini. Pemimpin moral dan agama lain meninggalkan dampak – tapi tidak seperti tukang kayu yang tidak dikenal dari Nazareth.

 Ada apa tentang Yesus Kristus yang membuatnya berbeda? Apakah dia hanya seorang besar atau sesuatu yang lebih?
Pertanyaan-pertanyaan ini masuk ke inti siapa Yesus sebenarnya. Ada yang percaya dia hanyalah guru moral yang besar, yang lain percaya dia hanyalah pemimpin dari agama terbesar dunia. Namun banyak yang percaya lebih jauh lagi. Orang Kristen percaya Allah telah melawat kita dalam bentuk manusia. Dan mereka percaya ada bukti-bukti yang mendukungnya. Jadi, siapa sebenarnya Yesus? Mari kita lihat lebih dekat.
Ketika kita melihat lebih dalam dari pribadi yang paling kontroversial di dunia, kita mulai bertanya apa mungkin Yesus hanyalah seorang guru moral yang besar?
Guru Moral Yang Besar?
Hampir semua ahli mengakui Yesus adalah guru moral yang besar. Pada kenyataannya, kedalaman-Nya dalam moralitas kemanusiaan adalah sebuah pencapaian yang juga diakui oleh agama-agama lain.[1] Dalam bukunya, Jesus of Nazareth, pakar Yahudi, Joseph Klausner menulis, “Secara universal diakui …. Kristus mengajarkan etika yang paling murni dan sempurna… yang melempar semua persepsi dan pepatah dari manusia paling bijak di zaman kuno jauh kedalam bayangan.”[2]
Khotbah Yesus diatas bukit telah disebut sebagai pengajaran etika manusia paling unggul etika manusia yang pernah diutarakan oleh seorang individu. Pada kenyataannya yang sekarang kita kenali sebagai “persamaan hak” adalah hasil dari pengajaran Yesus. Sejarahwan Will Durant menyatakan jika Yesus hidup dan memperjuangkan persamaan hak di era modern Dia akan langsung dikirim ke Siberia. “Dia yang terbesar diantara kamu, adalah dia yang melayani kami” – ini telah membalikkan semua kebijaksanaan politik yang sudah wajar.[3]
Sebagian orang mencoba memisahkan pengajaran etika Yesus dari klam-Nya tentang diri-Nya, dan percaya Dia hanyalah manusia biasa yang besar dan mengajarkan prinsip – prinsip moral luhur (mulia). Inilah pendekatan yang diambil dari salah satu bapa pendiri Amerika.
Presiden Thomas Jefferson, seorang rasionalis duduk di Gedung Putih dengan dua copy identik Perjanjian Baru, sebuah silet dan kertas. Sepanjang beberapa malam, dia menggunting dan menempelkan kitab sucinya yang tipis dan disebutnya “Filsafat Yesus dari Nazareth”. Setelah memotong semua ayat/kalimat yang menyebutkan (menyiratkan) ke-Tuhan-an Yesus, Jefferson mempunyai Yesus yang tidak lebih dan tidak kurang daripada sebuah panduan etika yang baik.[4]
Ironisnya, kata-kata Jefferson yang dikenang di Deklarasi Kemerdekaan berakar pada pengajaran Yesus bahwa setiap orang sangat berharga dan penting bagi Allah, terlepas dari jenis kelamin, ras, atau status sosial. Dokumen terkenal itu menambahkan, “Kami pegang teguh kebenaran yang telah membuktikan dirinya sendiri, bahwa semua manusia diciptakan setara, dan bahwa mereka diperlengkapi oleh Penciptanya dengan hak-hak asasi.”
Tapi Jefferson tidak pernah bertanya, bagaimana Yesus bisa jadi pemimpin moralitas besar jika Dia berbohong tentang Dia adalah Allah? Jadi mungkin Dia tidak benar-benar bermoral, tapi motifnya adalah memulai sebuah agama besar. Mari kita lihat jika itulah penjelasan tentang kebesaran Yesus.
Pemimpin Besar Agama?
Apakah Yesus pantas disebut sebagai “pemimpin besar agama”? Kejutannya, Yesus tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai pemimpin agama. Dia tidak pernah masuk dalam perpolitikan agama atau didorong oleh agenda ambisius dan Dia melayani (berkotbah) diluar kerangka kelembagaan agama.
Ketika membandingkan Yesus dengan pemimpin besar agama lain, perbedaan besar muncul. Ravi Zacharias yang besar dalam budaya Hindu, mempelajari agama-agama dunia dan mengamati perbedaan fundamental antara pendiri agama lain dengan Yesus Kristus.
“Apapun yang kita buat terhadap klaim mereka, satu realitas tidak akan terlewatkan. Mereka adalah guru-guru yang menunjuk pengajaran atau memperlihatkan jalan tertentu. Dari semua muncul perintah-perintah dan cara hidup. Bukanlah Zoroaster yang jadi panutan; Zoroaster yang Anda dengarkan. Bukan Buddha yang membebaskan Anda; Kebebarannya yang Agung yang memerintahkan Anda. Bukan Muhammad yang mengubah Anda; keindahan Quran yang menarik Anda. Kontrasnya, Yesus tidak hanya mengajar atau menjelaskan pesan-pesanNya. Dia identik dengan pesan-Nya.”[5]
Kebenaran Zacharias diperjelas dengan beberapa kali di Injil pesan pengajaran Yesus hanyalah. “Datang kepada-Ku” atau “Ikut Aku” atau “Patuhi Aku”. Juga, Yesus menegaskan bahwa misi utama-Nya adalah untuk mengampuni dosa, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh Allah.
Tidak ada pemimpin agama besar yang pernah mengklaim berkuasa mengampuni dosa. Tapi bukan klaim itu saja yang memisahkan Yesus dari yang lain. Dalam The World’s Great Religions, Huston Smith mengamati, “Hanya dua orang yang sangat mengejutkan orang pada zamannya sehingga pertanyaan yang ditujukan kepadanya bukanlah “Siapa dia?” tapi ‘Dia itu apa’? Mereka adalah Yesus dan Buddha. Jawaban keduanya atas pertanyaan ini bertentangan. Buddha dengan tegas menyatakan dia hanyalah seorang manusia bukan Allah – seakan-akan dia bisa memperkirakan belakangan ada upaya untuk memujanya. Yesus, disisi lain, mengklaim…. Dia itu Tuhan.”[6]
Apakah Yesus Mengklaim Dirinya Adalah Allah?
Sudah jelas, sejak awal gereja, Yesus dipanggil Tuhan dan dipandang oleh orang Kristen sebagai Allah. Namun tetap saja ke-Tuhan-an Yesus terus jadi perdebatan besar. Jadi pertanyaan — dan memang pertanyaannya — adalah : Apakah Yesus mengklaim diri-Nya adalah Allah (Pencipta), atau semacam mahluk mulia yang diciptakan atau diasumsikan oleh para penulis Perjanjian Baru? (Lihat “Apa Yesus Mengklaim diri-Nya adalah Allah”)
Beberapa ahli percaya Yesus adalah guru yang sangat berkuasa dan mempunyai kepribadian yang mendorong murid-muruid-Nya berasumsi Dia adalah Allah Atau mereka hanya ingin untuk berpikir Dia adalah Allah, John Dominic Crossan dan Seminar Yesus (kelompok pakar yang skeptis, yang memiliki prasangka menolak mujizat) adalah sebagian orang yang percaya Yesus didefinisikan salah.
Kendati buku seperti “The Da Vinci Code” berpendapat ke-Tuhan-an Yesus adalah doktrin gereja saja, bukti-bukti memperlihatkan sebaliknya (Lihat “Apa ada Konspirasi Da Vinci?”). Sebagian besar orang Kristen yang menerima Injil menekankan Yesus memang mengklaim diri-Nya sebagai Tuhan (Allah). Dan kepercayaan ini bisa ditelusuri kebelakang sampai pada pengikut Yesus di awalnya.
Tapi ada juga mereka yang menerima Yesus sebagai guru agung, tapi tidak bersedia menyebut-Nya sebagai Allah. Thomas Jefferson tidak mempersoalkan untuk menerima pengajaran Yesus atas moral dan etika tapi menolak ke-Tuhan-anNya.[7] Tapi seperti kami sudah katakan, dan akan dijelaskan kemudian, jika Yesus bukanlah seperti yang diklaim-Nya, maka kita harus mencari alternatif lain, yang tidak satupun akan membuat Dia jadi guru agung moral.
Bahkan membaca sekilas Injil akan mengungkapkan bahwa Yesus mengklaim lebih dari nabi seperti Musa atau Daniel. Tapi sifat dasar klaim-klaim itu jadi perhatian kita. Dua pertanyaan perlu diperhatikan.
• Apakah Yesus mengklaim diriNya adalah Allah?
• Ketika Dia katakan “Allah”, apakah Yesus benar-benar memaksudkannya Dia adalah Pencipta alam semesta seperti yang disebut oleh Kitab Suci Yahudi?[8]
Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, kita perlu mempertimbangkan kata-kata Yesus di Matius 28:18, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” Apa yang dimaksudkan dengan Yesus telah “diberikan” kuasa?
Sebelum menjadi manusia, kita diberitahu bahwa Dia bersama-sama dengan Bapa, dan sebagai Allah, Dia punya semua kuasa. Namun Filipi 2:6-11 menceritakan kepada kita kendati Yesus telah ada dalam bentuk Allah, Dia “melepaskan” kekuasaan Allah untuk lahir jadi manusia. Namun bagian surat itu juga menyatakan kepada kita bahwa setelah kebangkitan, Yesus dipulihkan lagi dalam kemulian-Nya semula dan satu hari nanti “setiap lutut akan bertelut kepada-Nya dan menyebut Tuhan.” Jadi, apa yang dimaksud Yesus ketika Dia mengklaim memiliki seluruh kuasa di surga dan di bumi? Kekuasaan merupakan istilah yang dikenal baik di Israel, yang dijajah Romawi kala itu. Pada saat itu, Kaisar adalah kekuasaan tertinggi diseluruh Romawi. Keputusannya bisa langsung mengirim pasukan untuk berperang, menghukum penjahat, dan menetapkan hukum dan peraturan pemerintah.
Pada kenyataannya, kekuasaan Kaisar begitu besar sehingga dia sendiri mengklaim dirinya sama dengan Tuhan. Jadi, paling kecil kemungkinannya apabila Yesus mengklaim punya otoritas sama dengan Kaisar.
Tapi Dia tidak hanya mengatakan Dia punya kekuasaan lebih dari para pemimpin Yahudi atau penguasa Romawi; Yesus mengklaim memiliki otoritas (kuasa) tertinggi di alam semesta. Bagi mereka yang mendengar-Nya, itu berarti Dia adalah Allah. Bukan salah satu allah — tapi Allah.
Baik perkataan dan tindakan menegaskan fakta bahwa mereka benar-benar percaya Yesus adalah Allah. (Lihat “Apakah Para Rasul Percaya Yesus adalah Allah?“)
Apakah Yesus Mengklaim Sebagai Pencipta?
Tapi mungkin Yesus hanya merefleksikan otoritas Allah dan tidak menyatakan bahwa Dia adalah Pencipta. Sekilas dibaca kelihatannya tidak meyakinkan. Namun klaim Yesus memiliki seluruh kuasa akan masuk akal jika Dia adalah Pencipta alam semesta. Kata “seluruh” berarti segala sesuatu termasuk penciptaan itu sendiri. 

Ketika kita menggali lebih dalam kata-kata Yesus sendiri, sebuah pola mulai muncul. Yesus membuat penegasan tentang diri-Nya, tidak salah lagi merujuk pada ke-Tuhan-anNya. Inilah sebagian pernyatan yang dicatat oleh para saksi mata.
• “Akulah kebangkitan dan hidup” (Yohanes 11:25)
• “Akulah terang dunia.” (Yohanes 8:12)
• “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yohanes 10:30)
• “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir.” (Wahyu 22:13).
• “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” (Yohanes 14:6)
• “Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
• “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yohanes 14:9)
Sekali lagi, kita harus kembali kepada konteks. Dalam Kitab Suci Yahudi, ketika Musa bertanya kepada Allah nama-Nya di depan semak yang berapi, Allah menjawab, “AKU”. Dia mengatakan kepada Musa bahwa Dia adalah satu-satunya Pencipta, abadi dan ada disemua tempat.
Sejak zaman Musa, tidak ada satupun orang Yahudi yang berani menyebut dirinya atau orang lain dengan sebutan “AKU”. Karena itu, klaim Yesus sebagai “AKU” langsung membuat para pemimpin Yahudi sangat marah. Contohnya, beberapa pemimpin Yahudi menjelaskan kepada Yesus kenapa mereka mencoba membunuh-Nya, “karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.” (Yohanes 10:33).
Tapi pada intinya bukan hanya kalimat-kalimat itu yang membuat para pemimpin agama marah. Pointnya adalah mereka tahu persis apa yang Dia katakan – Dia mengklaim diri-Nya sebagai Allah, Pencipta alam semesta. Hanya dengan klaim ini membawa pada tuduhan penghujatan. Membaca teks klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah sudah sangat jelas, bukan hanya oleh kalimat-Nya, tapi juga oleh reaksi mereka yang mendengarnya.
Allah Seperti Apa?
Ide bahwa kita semua bagian dari Allah dan didalam kita ada bibit ke-Tuhan-an, tidaklah bisa diterapkan bagi kata-kata dan tindakan Yesus. Pemikiran semacam itu berasal dari kaum revisionis, asing bagi pengajaran-Nya, asing bagi keyakinan yang dikatakanNya, dan asing bagi para murid-Nya yang mengerti pengajaran-Nya. 

Yesus mengajarkan Dia adalah Allah seperti yang dipahami orang Yahudi tentang Allah dan sama dengan Kitab Suci Yahudi gambarkan atas Allah, bukan seperti gerakan Abad Baru pahami mengenai Allah.
Yesus maupun para pendengarnya tidak pernah tahu tentang Star Wars, sehingga jika mereka berbicara tentang Allah, mereka tidak membicarakan kekuatan kosmis. Tapi jika Yesus bukan Allah, apakah kita bisa tetap menyebut-Nya sebagai guru agung moral? C. S. Lewis berargumen, ”Saya disini mencoba mencegah siapapun menyatakan hal bodoh yang sering dikatakan orang mengenai diri-Nya: ‘Saya siap menerima Yesus sebagai guru agung moral, tetapi saya tidak menerima klaimnya sebagai Allah.’ Hal ini tidak boleh dikatakan.”[9]
Dalam pencarian akan kebenaran, Lewis tahu bahwa dia tidak bisa mengambil dua jalan itu berkaitan dengan identitas Yesus. Benar, klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah dalam daging atau klaim-Nya salah. Dan jika salah, Yesus bukanlah guru agung moral. Dia bisa dengan sengaja berbohong atau Dia hanyalah orang gila, yang menganggap diri-Nya Allah.
Tentusaja ada orangorang yang menerima Yesus sebagaigurubesar, namun bersedia untuk memanggil Dia Allah. Sebagai Deis kita lihat bahwa Thomas Jefferson tidak punya masalah menerima ajaran Yesus tentang moral dan etika, sementara ia menyangkal keilahian-Nya. [10]
Tapikita katakan, dan akanmengeksplorasi lebihlanjut, jika Yesus bukan siapa dia mengaku, makakita harus meneliti beberapa alternatif lain, tidak ada yangakan membuatnya seorang guru moral yangagung. Lewis, berpendapat, “Saya berusaha di sini untukmencegah orang darimengatakan halyang benarbenar bodoh bahwa orang seringberkata tentang Dia:”Saya siap menerima Yesus sebagai gurumoralyang agung, Burt saya tidak menerima klaimnya sebagaiAllah. ‘Itu adalah satu hal yang kita tidak harus mengatakan. “[11]
Apakah Yesus Pembohong?
Salah satu buku politik paling terkenal dan berpengaruh ditulis oleh Noccolo Machiavelli 1532. Dalam buku klasik, The Prince, Machiavelli menjelaskan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, sukses, dan efesiensi adalah melampaui kesetiaan, iman, dan kejujuran. Menurut Machiavelli, berbohong itu bagus jika untuk mencapai tujuan politik.
Mungkinkah Yesus Kristus membangun seluruh pelayanan-Nya berdasarkan kebohongan untuk memperoleh kekuasaan, kemaahuran, atau keberhasilan? Faktanya, orang Yahudi, musuh Yesus, secara konstan berusaha memperlihatkan Dia sebagai pembohong dan penipu. Mereka akan menyerang Dia dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjebakNya dan membuat Dia berkontradiksi dengan diriNya sendiri. Namun Yesus selalu menjawab dengan konsistensi yang mengagumkan.
Pertanyaan yang harus kita hadapi adalah, apa mungkin motivasi Yesus hidup seperti hidupNya adalah kebohongan? Dia mengajar Allah menentang kebohongan dan kemunafikan, jadi Dia tidak akan melakukan itu untuk menyenangkan Bapa-Nya. Dia pasti tidak berbohong demi keuntungan para pengikut-Nya. (seluruh murid kecuali satu orang mati terbunuh jadi martir.) Akhirnya kita tinggal punya dua kemungkinan penjelasan.
Keuntungan
Banyak orang berbohong untuk memperoleh keuntungan pribadi. Faktanya, kebanyakan bohong dimotivasi oleh keuntungan pribadi. Apa yang Yesus harapkan dari berbohong atas identitasNya? Kekuasaan jadi jawaban paling mudah diperoleh. Jika rakyat percaya Dia adalah Allah, Dia bisa punya kekuasaan luar biasa besar. (Itulah sebabnya banyak pemimpin zaman dulu, seperti Kaisar, mengklaim punya asal usul ilahi.)
Jawaban atas penjelasan ini adalah Yesus menolak semua upaya untuk mendudukkan-Nya sebagai penguas la, lebih suka mengecam mereka yang menyalah-gunakan kekuasaan dan hidup untuk mengejar kekuasaan. Dia juga memilih untuk menjangkau orang yang terbuang (pelacur dan penderita lepra), mereka yang tidak punya kekuasaan, dan menciptakan jaringan dari orang-orang yang pengaruhnya kurang dari nol. Bisa digambarkan sebagai aneh, semua yang Yesus lakukan dan katakan bergerak menjauhi kekuasaan.
Kelihatannya, jika kekuasaan jadi motivasi Yesus, Dia akan menghindari salib dengan segala cara. Namun, dalam beberapa kesempatan, Dia mengatakan kepada para murid-Nya bahwa salib adalah tujuan dan misinya. Bagaimana kematian di salib Romawi bisa memberikan kekuasaan kepada orang itu?
Kematian, tentu saja, membawa segalanya memasuki fokus yang tepat. Banyak orang martir mati karena perjuangan yang mereka percayai, tapi hanya sedikit orang mau mati untuk kebohongan yang sudah diketahui. Tentunya seluruh harapan Yesus untuk memperoleh keuntungan pribadi akan lenyap di kayu salib. Tapi, sampai pada napas terakhirnya, Dia tidak pernah mencabut klaim-Nya sebagai Anak Allah. Yesus menggunakan istilah “Anak Manusia” dan “Anak Allah” untuk mengidentifikasi sifat dasar sebagai manusia dan Allah. (Lihat “Apakah Yesus Mengklaim diriNya adalah Allah?”).[12]
Warisan
Jadi jika Yesus berbohong bukan untuk keuntungan pribadi, mungkin klaim radikalnya dipalsukan untuk meninggalkan sebuah warisan. Tapi prospek dipukuli hancur-hancuran dan dipaku di salib dengan cepat akan menyurutkan siapapun yang paling antusias, untuk jadi bintang super masa depan.
Ada fakta lain yang sering timbul. Jika Yesus mencabut saja klaim sebagai Anak Allah, Dia tidak akan disalib (hukum). Karena klaim-Nya sebagai Allah dan ketidaksediaan untuk mencabutnya, yang membawanya ke salib.
Jika meneliti reputasi kredibilitas dan historis mengenai apa yang memotivasi Yesus untuk berbohong, seseorang harus menjelaskan bagaimana seorang tukang kayu dari desa miskin Yudea bisa mengantisipasi kejadian-kejadian yang akan mengangkat namanya jadi terkemuka di dunia. Bagaimana Dia tahu pesan-pesan-Nya akan bertahan (ada terus sampai sekarang)? Murid-murid Yesus sudah lari dan Petrus menyangkal Dia. Ini semua bukanlah sebuah formula untuk menanamkan warisan religius.
Apakah para sejarahwan percaya Yesus berbohong? Para ahli telah menyidik kalimat-kalimat Yesus dan kehidupanNya untuk melihat apakah ada bukti kejanggalan pada karakter moral-Nya. Pada kenyataannya, bahkan yang paling skeptispun kaget oleh kemurnian moral dan etika Yesus. Salah satu skeptis dan antagonis, John Stuart Mill (1806 – 73) menulis mengenai Yesus,
“Tentang kehidupan dan perkataan Yesus ada tanda orisinilitas personal dikombinasikan dengan kedalaman pengertian manusia jenius yang spesies kita bisa utarakan. Pada saat jenius terbesar (terhebat tak ada yang melebihi) dikombinasi dengan kualitas reformer moral terbesar dan martir untuk misi yang pernah hidup di bumi, agama tidak bisa dikatakan melakukan pilihan salah dalam memilih orang ini sebagai wakil ideal dan panduan bagi kemanusiaan.”[13]
Menurut sejarahwan Philip Schaff, tidak ada bukti dalam sejarah gereja atau sekuler, yang mencatat Yesus berbohong atas apapun. Schaff berargumen, bagaimana, atas nama logika, masuk akal, dan pengalaman, seorang penipu, egois, telah menciptakan dan secara konsisten dari awal mulai sampai akhir, dikenal sebagai karakter paling mulia dan murni dalam sejarah dengan aroma kebenaran sempurna dan realitas?[14]
Untuk tetap pada pilihan kebohongan, tampak seperti berenang melawan arus atas apa yang diajarkan dan dihidupi sampai matioleh Yesus. Bagi sebagian besar ahli, itu tidak masuk akal. Kendati begitu, untuk menolak klaim Yesus, seseorang harus mengajukan penjelasan. Dan jika klaim Yesus tidak benar dan Dia tidak berbohong, satu-satunya pilihan tersisa adalah Dia membohongi diri-Nya sendiri
Apa Yesus Gila?
Albert Schweitzer, penerima Nobel Prize 1952 karena upaya-upaya kemanusiannya, punya pandangan sendiri tentang Yesus. Schweitzer menyimpulkan bahwa kegilaan ada dibelakang klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah. Dalam kata lain, Yesus salah atas klaim-Nya tapi tidak secara sengaja berbohong. Menurut teori ini, Yesus disesatkan sedemikian rupa hingga Dia percaya Dialah Mesias.
C. S. Lewis mempertimbangkan pilihan ini dengan hati-hati. Lewis mendeduktif klaim Yesus – seakan-akan tidak benar. Dia mengatakan seseorang yang mengklaim sebagai Allah tidak mungkin jadi guru agung moralitas.
Bahkan mereka yang paling skeptis terhadap kekristenan sangat jarang mempertanyakan kesadaran Yesus. Reformis sosial William Channing (1780–1842), mengaku bukan orang Kristen, melakukan pengamatan terhadap Yesus,”Tuduhan secara berlebihan, secara antusias membohongi-diri adalah yang paling akhir bisa dikatakan tentang Yesus.” Dimana kita bisa temukan jejak itu dalam sejarah? Apakah kita bisa mendeteksinya dalam pemikiran-Nya? persepsi-Nya?
Meski kehidupannya dipenuhi oleh imoralitas dan skeptisme personal, filsuf terkemuka Perancis, Jean-Jacques Rousseau (1712 -78) mengakui superioritas karakter dan pemikiran Yesus. “Ketika Plato menggambarkan manusia kebenaran manussia, imajinasinya, dipenuhi oleh hukuman akan kesalahan, tetapi tetap berhak atas ganjaran keutamaan (kebijaksanaan) tertinggi. Dia dengan tepat menggambarkan karakter Kristus. … Pemikiran yang luar biasa. … Ya, jika kehidupan dan kematian Socrates adalah filsuf, kehidupan dan kematian Yesus Kristus adalah Allah.”[15]
Schaff melontarkan pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri kita sendiri,
” Apa ada kepintaran pada tingkat itu — sepenuhnya sehat dan bersemangat, selalu siap dan selalu percaya diri — menyerahkan diri secara radikal dan sangat serius kepada khayalan berkaitan dengan karakter dan misinya sendiri?”[16]
Jadi, apakah Yesus seorang pembohong, gila, atau Dia adalah Anak Allah? Dapatkah Jefferson benar ketika menjuluki Yesus “hanya guru moral yang bagus” dan pada saat yang sama menolak ke-Tuhan-anNya? Menariknya, para pendengar Yesus — mereka yang percaya dan musuh-musuhNya — tidak pernah memandang Dia hanya sebagai guru moral. Yesus menghasilkan tiga dampak utama bagi orang yang bertemu denganNya: kebencian, ketakutan, atau penyembahan (pemujaan).
Dan sekarang, dua ribu tahun kemudian, Yesus masih tetap pribadi yang membelah dunia kita. Bukan moral, etika, atau warisanNya yang membakar gairah. Pesan yang dibawa Yesus kepada dunia adalah Allah menciptakan kita dengan tujuan dan tujuan itu ada pada Anak-Nya.

 Klaim Yesus Kristus memaksa kita untuk memilih. Seperti dikatakan Lewis, kita tidak bisa mengkategorikan Yesus hanya sebagai pemimpin besar agama atau guru moral yang baik. Mantan pengajar Oxford dan skeptis menantang kita mengambil keputusan sendiri mengenai Yesus,
“Anda harus mengambil keputusan sendiri. Apa orang ini adalah Anak Allah atau orang gila atau yang lebih buruk lagi. Anda bisa menyebut-Nya bodoh, anda meludahi-Nya dan membunuh-Nya sebagai setan atau Anda bisa jatuh didepan kaki-Nya dan memanggil-Nya Tuhan dan Allah. Tetapi kita tidak bisa menyatakan hal yang tidak masuk akal dengan menyebutnya sebagai guru yang agung dan manusia. Dia tidak menyediakan (pandangan itu) terbuka untuk kita. Dia tidak menghendakinya.”[17]
Dalam tulisan “Kekristenan Biasa”, Lewis menjelaskan kenapa dia menyimpulkan Yesus Kristus persis sama dengan klaimNya. Dia secara hati-hati meneliti kehidupan dan perkataan Yesus. Hal ini membawa penulis jenius ini membuang ateismenya dan jadi orang Kristen yang sungguh-sungguh.
Apakah Yesus Benar-Benar Bangkit Dari Kematian?
Pertanyaan terbesar masa kini adalah, “Siapa sebenarnya Yesus Kristus? Apakah dia hanya seorang luar biasa, atau dia Allah dalam daging, seperti dipercayai oleh para muridNya Paulus, Johannes, dan yang lainnya? (Lihat “Apakah Para Rasul Percaay Yesus adalah Allah?”)
Para saksi mata, bagi Yesus Kristus, berbicara dan bertindak sepertinya mereka percaya Dia bangkit secara fisik dari kematian setelah penyalibannya. Jika mereka salah maka KeKristenan didirikan diatas kebohongan. Tapi jika mereka benar, mujizat seperti itu secara memperkuat semua yang Yesus katakan mengenai Allah, diri-Nya, dan kita.
Tapi apakah kita percaya pada kebangkitan Yesus hanya dengan iman saja, tapi apakah ada bukti historis yang kuat? Beberapa ahli skeptis mulai meneliti catatan historis untuk membuktikan bahwa catatan kebangkitan itu salah. Apa yang mereka temukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar